PERBANKAN INDONESIA
DIMASA KRISIS EKONOMI
Indonesia mulai mengalami krisis moneter sejak Agustus
1997. Jika negara-negara lain yang juga mengalami krisis moneter bisa cepat
bangkit dan sembuh dari krisis, akan tetapi Indonesia sampai dengan hari ini
masih merasakan dampak dari krisis tersebut.
Struktur
Perbankan Di Indonesia Pada Masa Krisis Ekonomi pada tahun 1997-1998
Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 –
1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karena terbentur pada
krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga internasional berupaya keras menanggulangi
krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang
menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melakukan
pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Secara spesifik langkah‐langkah yang dilakukan untuk menanggulangi krisis
keuangan dan perbankan tersebut adalah :
·
Penyediaan likuiditas kepada perbankan yang dikenal
dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI);
·
mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki potensi untuk melanjutkan
kegiatan usahanya dan bank‐bank yang
memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya;
·
Menutup bank‐bank yang
bermasalah dan melakukan konsolidasi perbankan dengan melakukan marger;
·
Mendirikan lembaga khusus untuk menangani masalah yang
ada di industri perbankan seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN);
·
Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan
perbankan melalui penetapan Undang‐Undang No.
23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam
penetapan kebijakan.
Meskipun
istilah yang digunakan “deregulasi”, namun tidak berarti bahwa perubahan yang
dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia
perbankan. Deregulasi lebih tepat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang
dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan dunia perbankan dan pada
akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Kebijakan deregulasi yang telah
dilakukan :
ü Paket 1 Juni
1983 yang berisi tentang :
Ø Penghapusan
pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang
Beredar (JUB);
Ø Pengurangan
KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertentu;
Ø Pemberian
kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor-sektor
tertentu;
ü Bank
Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.
ü Bank
Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
ü Paket 27
Oktober 1988 yang berisi tentang :
·
Penyerahan dana masyarakat, yang meliputi :
v Kemudahan
pembukaan kantor bank;
v Kejelasan
aturan pendirian bank.
·
Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan
sertifikat deposito dan tanpa perlu izin.
·
Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan
lain.
ü Paket 28
Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju
penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip
kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga keuangan.
ü UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
ü Paket 29 Mei
1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
·
CAR (Capital Adequacy Ratio);
·
Batas Maksimum Pemberian Kredit;
·
Kredit Usaha Kecil;
·
Pembentukan cadangan piutang;
·
Loan to Deposit Ratio.
Pada tahun
1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan
dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang
menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972.
Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka
kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau
pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu
kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah
satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa
yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal
Rp 100 juta.
Namun
demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan
kebebasan dan kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan
Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank bank sekunder seperti
bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah
menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan
pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan
untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping
untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dalam Pakto 1988, juga dibuka
kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik yang berbadan
hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat yang lebih sederhana, suatu bank dapat didirikan
dengan modal 10 milyar rupiah.
Paket
kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swasta nasional, bank perkreditan
rakyat (BPR), termasuk lembaga dana dan
kredit pedesaan (LDKP), dapat didirikan
di luar ibukota negara, ibu kota propinsi dan ibukota Dati II, serta
dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Kebijaksanaan
baru tersebut juga memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin
meningkatkan statusnya menjadi bank devisa (melayani transaksi devisa), membuka
kemungkinan pendirian bank campuran (join kerjasama dengan bank asing) dan
memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di
kota-kota tertentu.
Di samping
kemudahan-kemudahan tersebut, disempurnakan juga ketentuan mengenai kewajiban
bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing,
yaitu dari 15 persen menjadi 2 persen
yang juga berlaku bagi LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank. Misalnya seperti
perusahaan financing yang bentuk usahanya bukan bank).
Untuk
penyempurnaan Pakto 88, dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang antara lain memuat
ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk
perhitungan capital adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit
dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan
dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka
menengah dan panjang. Berbagai kemudahan
tersebut berdampak cukup luas kalau tidak mengatakan peletak landasan baru bagi
industri perbankan di Indonesia.
Kalangan
investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam industri perbankan. Sebagai
akibatnya perkembangan bank swasta nasional mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat dan laju pertumbuhannya telah mampu mematahkan dominasi bank pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan
juga pembukaan kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta. Pada tahun tersebut banyak kelompok-kelompok
perusahaan besar mendirikan bank-bank baru. Kelompok usaha Bakrie misalnya,
mendirikan Nusa Bank, Subentra Group mendirikan Bank Subentra, Jaya Group
mendirikan Jaya Bank serta beberapa kelompok perusahaan lainnya.
Memasuki
tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi
ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992
dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU Perbankan
1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank
dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang
merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar,
serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU
Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan
nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang
menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk
melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani
kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan,
Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua
Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab
keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya
ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan
mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993
yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam
Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming
economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya
tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan
hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati
tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter.
Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha,
terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai
memanas dan inflasi meningkat.
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan
Di Indonesia Dimasa
Krisis Ekonomi
1997-1998
Sebelum krisis moneter, nilai tukar rupiah rata-rata
Rp2.500,00 per dolar Amerika. Akan tetapi sejak krisis moneter, nilai tukar
rupiah terus menerus anjlok hingga mencapai Rp16.000,00 per dolar Amerika
Serikat. Hal itu berarti barang yang seharga 10 dolar, yang dulu cukup kita
bayar dengan uang Rp25.000,00 (dari 10 x Rp2.500,00), sejak krisis moneter
barang tersebut harus kita bayar dengan uang Rp160.000,00 (dari 10 x
Rp16.000,00). Selisihnya sangat jauh dan hal itu memperlihatkan betapa
anjloknya nilai rupiah terhadap dolar Amerika yang merupakan mata uang
internasional. Anjloknya nilai rupiah tentu sangat berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia.
Berbagai barang impor harganya melonjak tinggi, banyak
pabrik ditutup karena mahalnya bahan baku impor serta tingginya tingkat
inflasi, banyak karyawan di-PHK, bertambahnya angka kemiskinan dan lain-lain.
Dunia perbankan tidak luput dari pengaruh krisis moneter. Perbankan yang
berkembang dengan baik tiba-tiba mengalami kejatuhan. Hal itu disebabkan
banyaknya bank yang memberi kredit pada proyek-proyek atau sektor-sektor yang
berisiko tinggi, rendahnya tingkat manajemen bank, serta terlalu longgarnya
pemberian kredit kepada nasabah yang ditandai dengan adanya penyelewengan atas
batas pemberian kredit.
Jatuhnya perbankan, membuat pemerintah harus
melikuidasi (membubarkan) banyak bank. Tanggal 17 November 1997, 16 bank swasta
dilikuidasi, dan dilanjutkan dengan 50 bank pada likuidasi kedua. Likuidasi
dilakukan dengan tujuan menyehatkan dan merampingkan dunia perbankan. Akan
tetapi, ternyata likuidasi 66 bank tersebut berdampak buruk, masyarakat
berlomba-lomba mengambil simpanannya dari bank-bank yang dikabarkan akan dilikuidasi.
Maka, terjadilah rush (pengambilan terusmenerus) oleh masyarakat seperti yang
terjadi pada Bank Danamon dan BCA sehingga pada akhirnya bank-bank tersebut
diambil alih oleh pemerintah.
Dinamika
Krisis Pada tahun 1997-1998
Dimasa ini perekonomian bangsa sangat tidak stabil
sehingga menjadi pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat baik masyarkat
yang perekonomiannya di level atas, menengah dan terlebih bagi masyarakat ang
paling dibawah. Untuk menyehatkan
perbankan nasional, pemerintah melakukan berbagai kebijakan, di antaranya
adalah:
a)
Melakukan Program Penjaminan Penuh.
Untuk
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah menjamin penuh
semua dana masyarakat yang ada di semua bank umum yang berbadan hukum Indonesia,
baik yang berbentuk bank pemerintah, bank swasta atau bank campuran. Dengan
penjaminan ini, jika suatu saat bank mengalami masalah maka pemerintah wajib
menjamin keamanan dana masyarakat.
b) Melakukan
Program Rekapitalisasi Perbankan.
Dengan
program ini, diharapkan bank-bank dapat memenuhi ketentuan permodalan minimum.
c) Melakukan
Pembentukan BPPN.
Sesuai
dengan Keputusan Presiden No. 27/1998, tugas BPPN adalah:
1.
Melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan
pemerintah kepada bank umum.
2.
Melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan
termasuk restrukturisasi bank yang oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak sehat.
3.
Melakukan tindakan hukum lain yang diperlukan dalam
rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Dalam menjalankan tugasnya, BPPN
dipimpin seorang ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Penyebab
Terjadinya Krisis
penyebab utama dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini adalah merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan
faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbedamenurut sisi
pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai
faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1.
Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa
adanya pengawasan yang memadai,memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir
keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan,
karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel,
sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnyauntuk orang bermain di pasar
valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar
negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas
diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri;
2.
Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah,
berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996,
yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara
kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam
nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata
dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing
dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi
industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan
produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor
yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang,
ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat
overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena
tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata;
3.
Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri
swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan
yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh
tempo beserta bunganya ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah
yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang
beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada
tiga pihak yang krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah
adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan
membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang
tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam
mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam
negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar
masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.
Jadi di sini
pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha
selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga
memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang
semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan
oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan
terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan
proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri,
terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih
menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal
sebagai fallacy of thinking , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan
investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena
masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah
mengantisipasi keadaan. Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga
ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau
masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun
masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net
capital outflow yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang
pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan
modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta,
pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu
pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan
pinjaman baru. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800
perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara
utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri
swasta ini tidak di hedge. Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah
dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri,
misalnya yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas
pertimbangan dirinya sendiri tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh pengusaha
lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-kan apotik, membuka tambak
udang, membangun realestat dan kondomium. Total pembayaran cicilan utang pokok
dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru.
Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 bank-bank. Maka beban pembayaran
utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh
kinerja ekspor yang melemah . Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar
rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan
menyulitkan pembayaran kembalinya. Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat
yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent,
yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek
pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui
daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali.
Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh
sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak
menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan
hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan
realestat.
Proyek-proyek
besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan
pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan
untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial
intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat
mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka
meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi
berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari
dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di
hedge;
4.
Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang
dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas
cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin
trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah
besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas
dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk
memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan
untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun
pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan
sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru
sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup
besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini
adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka
akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS . Namun pemicu adalah krisis
moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang
diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia
lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sudah saling
kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya;
5.
Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam
suatu sistim nilai tukar dengan pitabatas intervensi. Sistim ini menyebabkan
apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah danmengundang tindakan spekulasi ketika
sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 tidak adanya
kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi
krisis dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan
pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi
kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat;
6.
Defisit neraca berjalan yang semakin membesar, yang
disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari
ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai
tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor
menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri;
7.
Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya
membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang
oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya
keluar dalam jumlah besar . Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar
negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif
stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri
yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi
krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun
dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga
Indonesia. Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang
waspada dan meremehkan resiko Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap
rupiah;
8.
IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda
pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak
melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang
menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya
menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama
makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan US$ 5 milyar meminta
pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam
yang menjanjikan US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang
terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan 8 Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Maret 1999 membantu telah mencairkan dananya dan telah habis
terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program
reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
Spekulan domestik ikut bermain . Para spekulan ini pun tidak semata-mata
menggunakan dana nya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan
untuk bermain. Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan
masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot
dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap
dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat
pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta
kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam
negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian
modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu
sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang
lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan
masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka
menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat
mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan
investasi baru.
Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang,
yang nilainya melemah terhadap dollar AS . Setelah Plaza-Accord tahun 1985,
kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen
Jepang, karena mata uang negaranegaraAsia ini dipatok dengan dollar AS. Daya
saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak
perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di
negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang,
sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena
meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan. Di lain pihak harus
diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun
kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa
ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi
sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh
perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat
banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien.
Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai
bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya
krisis berkaitan dengan Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan
Saran jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor
ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri,
meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap
melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahisektor riil saja, tidak memecahkan
permasalahan. Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan
akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang
menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung.
Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk
mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,
membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat
dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai
tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah
mengembalikan stabilitas sosial dan politik. Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan Program
Reformasi Ekonomi IMF. Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di
Indonesia disebabkan karenapemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah
sudah sangat terdepresiasi. Strategipemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu
sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial. Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam
kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum
of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli
1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.Program
bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program
reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
- Penyehatan sektor keuangan;
- Kebijakan fiskal;
- Kebijakan moneter
- Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit
sekitar US$ 11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah
US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret
1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan
sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan
program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota
di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. Di samping dana bantuan
IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegarasahabat juga menjanjikan
pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih 10 Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Maret 1999 kurang US$ 37 milyar . Namun bantuan dari pihak lain
ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan
program-program yang diprasyaratkan IMF.
Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57
milyar untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar
berasal dari IMF. Thailandhanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2
milyar, di antaranya US$ 4 milyar dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar
berasal dari Indonesia dan Korea. Karena dalam beberapa hal program-program
yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin
dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan
mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal
15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan
mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah
bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok
dari program IMF adalah sebagai berikut.
Perbankan Politik Dan Reformasi Ekonomi Di Tahi
1997-1998.
a. Pengaruh Politik Terhadap Perekonomian Di
Indonesia
Sejak proklamasi Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif.
Bebas artinya Indonesia tidak memihak kepada salah satu blok dan menempuh cara
sendiri dalam menangani masalah-masalah internasional. Sedangkan aktif artinya
Indonesia berusaha sekuat tenaga untuk ikut memelihara perdamaian dunia dan
berpartisipasi meredakan ketegangan internasional.
Politik ini dipilih dalam rangka menjamin kerjasama dan hubungan baik
dengan bangsa lain di dunia. Politik yang dicetuskan Mohammad Hatta ini
dijalankan dari awal terbentuknya Indonesia hingga saat ini meskipun dalam
pelaksanaannya tidak sesuai karena adanya pengaruh dengan perubahan politik di
dunia.
Penyimpangan terhadap politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif
dianggap mulai muncul ketika Indonesia pada masa Kabinet Sukiman (1951) dengan
mengadakan pertukaran surat antara Menteri Luar Negeri Ahmad Subarjo dan Duta
Besar Amerika Serikat Merle Cochran dalam rangka mendapatkan bantuan dari
Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan protes sebab dianggap telah meninggalkan
politik bebas aktif dan memasukkan Indonesia ke dalam sistem pertahanan Blok
Barat. Sementara itu pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I menitik beratkan
pada kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika dengan menyelenggarakan
Konferensi Asia-Afrika. Kenyataan tersebut bukan berarti Indonesia akan
membentuk blok ketiga. Tujuan dibentuk organisasi ini adalah sebagai landasan
dalam rangka memupuk solidaritas Asia-Afrika dan menyusun kekuatanagar
mendapatkan posisi yang menguntungkan bagi bangsa Asia-Afrika di tengah
percaturan politik internasional.
Pada masa Burhanuddin Harahap (1955) politik luar negeri Indonesia lebih
dekat dengan Blok Barat, baik dengan Amerika, Australia, Inggris, Singapura dan
Malaysia. Indonesia mendapatkan bantuan makanan dari Amerika (US$ 96.700.000).
Tahun 1956 untuk menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menganut politik bebas aktif maka presiden Soekarno mengunjungi Uni Soviet. Dan ditandatangani perjanjian kerja sama pemberian bantuan ekonomi dengan tidak mengikat dari Uni Soviet(US$ 100.000.000). Indonesia juga mengunjungi Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Cina. Indonesia juga mengirimkan pasukan perdamaian di bawah PBB yang dikenal dengan Pasukan Garuda.
Tahun 1956 untuk menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menganut politik bebas aktif maka presiden Soekarno mengunjungi Uni Soviet. Dan ditandatangani perjanjian kerja sama pemberian bantuan ekonomi dengan tidak mengikat dari Uni Soviet(US$ 100.000.000). Indonesia juga mengunjungi Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Cina. Indonesia juga mengirimkan pasukan perdamaian di bawah PBB yang dikenal dengan Pasukan Garuda.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia turut mempelopori berdirinya
Gerakan Non Blok (1961) sejak saat itu Manifesto Politik (Manipol) menjadi
dasar pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia sehingga dunia terbagi
menjadi NEFO (negara-negara komunis) dan OLDEFO (negara-negara kolonialis dan
imperialis). Indonesia termasuk dalam kelompok NEFO sehingga menjalin hubungan
erat dengan negara bok timur dan menjaga jarak dengan negara blok barat.
Politik tersebut selanjutnya berkembang semakin radikal menjadi politik
mercusuar dan politik poros. Politik Indonesia yang agresif selama masa
Demokrasi Terpimpin memboroskan devisa, inflasi menjadi tidak terkontrol
terlebih dengan adanya pemberontakan PKI 1965.
b.
Pengaruh
Politik Terhadap Perekonomian Di Indonesia Pada Masa Orde Baru
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah mencanangkan pembangunan
ekonomi dan industri. Pada waktu itu posisi pengusaha dalam negeri masih dalam
keadaan yang tidak kuat untuk berdiri sendiri.. Akibatnya, pemerintah (negara) menjadi
dominan dalam perekonomian. Pengusaha menggantungkan diri kepada pemerintah.
Hal ini menimbulakan konsekuensi yaitu pemerintah menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi atau dengan kata lain pemerintah menjadi sumber penggerak investasi dan
pengalokasian kekayaan nasional. Dalam hal ini pemerintah tidak hanya
menyediakan proyek, kontrak, konsesi pengeboran minyak dan eksploitasi hutan,
serta lisensi agen tunggal, melainkan juga kredit besar dan subsidi. Pemerintah
juga menunjang dengan kebijakan proteksi serta pemberian hak monopoli impor dan
pasar.
Pada masa tersebut, pemerintah cenderung menghasilkan dua lapisan ekonomi-politik utama, yaitu birokrat-politik yang melibatkan lingkup keluarganya dalam bisnis, serta pengusaha yang dapat berkembang berkat dukungan khusus dari pemerintah (mulai berkembangnya KKN). Kedua lapisan ini mendominasi perekonomian dan politik.
Dalam perkembangan sistem ekonomi tersebut, pemerintah sebagai sumber penggerak investasi dan pengalokasian kekayaan nasional hanyalah bersifat jangka pendek. Kemampuan pemerintah menyediakan segalanya dibatasi oleh gerak sistem ekonomi. Indonesia menjadi rawan akan krisis. Pola bisnis tersebut memerlukan sebuah rezim politik yang mampu mengendalikan reaksi kaum buruh dan gerakan demokratisasi. Untuk keperluan ini rakyat berhasil dijauhkan dari partisipasi politik. Pembangunan ekonomi dijaga dengan kekuatan militer yang kuat sehingga terlihat stabil. Pertumbuhan partai politik dan pengekpresian politik dilarang dalam upaya menciptakan kestabilan untuk pertumbuhan ekonomi. Rakyat seakan dibungkam untuk menuntut hak-haknya atas nama pembangunan ekonomi.
Pada masa tersebut, pemerintah cenderung menghasilkan dua lapisan ekonomi-politik utama, yaitu birokrat-politik yang melibatkan lingkup keluarganya dalam bisnis, serta pengusaha yang dapat berkembang berkat dukungan khusus dari pemerintah (mulai berkembangnya KKN). Kedua lapisan ini mendominasi perekonomian dan politik.
Dalam perkembangan sistem ekonomi tersebut, pemerintah sebagai sumber penggerak investasi dan pengalokasian kekayaan nasional hanyalah bersifat jangka pendek. Kemampuan pemerintah menyediakan segalanya dibatasi oleh gerak sistem ekonomi. Indonesia menjadi rawan akan krisis. Pola bisnis tersebut memerlukan sebuah rezim politik yang mampu mengendalikan reaksi kaum buruh dan gerakan demokratisasi. Untuk keperluan ini rakyat berhasil dijauhkan dari partisipasi politik. Pembangunan ekonomi dijaga dengan kekuatan militer yang kuat sehingga terlihat stabil. Pertumbuhan partai politik dan pengekpresian politik dilarang dalam upaya menciptakan kestabilan untuk pertumbuhan ekonomi. Rakyat seakan dibungkam untuk menuntut hak-haknya atas nama pembangunan ekonomi.
Pada masa Orde baru, bentuk partisipasi rakyat diatur agar hanya terlibat
pada pemilihan umum anggota DPR dan DPRD. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kaitan
politik dan birokratik dalam pola bisnis. Pemerintah sudah sejak awal jadi
mesin pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan para birokrat-politik terlibat
bisnis yang bersifat jangka pendek. Pola ini tidak mendorong tumbuhnya
kepercayaan dunia usaha untuk jangka panjang.
Sistem politik Indonesia pada masa itu mempunyai kelemahan, salah satu
diantaranya adalah sedikitnya sumber-sumber yang dapat menjadi penekan dan
penyeimbang atas kekuatan pemerintah, di tingkat nasional atau daerah. Padahal,
kekuatan penekan sangat diperlukan untuk melakukan kontrol, maupun
sumbangan-sumbangan gagasan dan pemikiran untuk membentuk bangunan sosial
politik yang lebih aspiratif.
Pengaruh kalangan non-pemerintah, termasuk dari pengusaha dan profesional
sangat terbatas dan acap diabaikan. Kecuali para pengusaha tertentu yang
mempunyai koneksi langsung dengan penguasa. Ketergantungan ekonomi swasta pada
pemerintah menimbulkan hubungan yang sangat tidak sehat di antara keduanya,
yang jika dipandang dari sudut politik, bisnis, dan masyarakat luas sangatlah
merugikan. Konsekuensi dari hubungan yang tidak sehat tampak nyata ketika
Indonesia diterpa krisis ekonomi, sosial dan politik sekaligus, yang mengalami
kesulitan untuk diperbaiki.
Kalangan bisnis dan profesi swasta yang merupakan unsur krusial dalam
pembentukan kelas menengah, selama zaman Orde Baru tidak memiliki kesempatan
untuk membentuk asosiasi maupun organisasi yang mampu berfungsi sebagai sumber
kritik, pengaruh, dan sumbangan ide pada perencanaan politik, ekonomi dan sosial.
Unsur-unsur baru dari kalangan profesional maupun kalangan bisnis cenderung
menghindarkan diri dari politik dan berkonsentrasi pada bidangnya sendiri yang
sempit.
Semua hal tersebut membuat sistem ekonomi Indonesia menjadi cukup rawan
krisis, terutama krisis fiskal dan krisis keuangan. Terjadinya krisis rupiah
dan berbagai dampaknya membuat pemerintah terpaksa harus mengeluarkan sejumlah
kebijakan deregulasi di bidang ekonomi. Secara politik, kebijakan ini memacu
pertumbuhan sektor swasta, termasuk swastanisasi BUMN.
Hal ini menuntut pemerintah untuk melakukan pembenahan besar-besaran.
Pemerintah terpaksa menerima tawaran IMF untuk menyetujui Nota Kesepakatan
menuju reformasi ekonomi. Krisis ekonomi memang menimbulkan dampak politik yang
lebih kuat. pemerintah semakin didesak untuk melepaskan keterlibatannya dari
bisnis dan untuk lebih menjalankan fungsi sebagai perlengkapan politik supaya
dapat bertugas menyehatkan sistem ekonomi.
Sistem peraturan hukum yang kuat sangat dibutuhkan untuk menopang kinerja
reformasi ekonomi. Kalangan dunia usaha semakin menuntut kepastian hukum.
Krisis rupiah yang semakin parah sampai menggerogoti sistem ekonomi, telah
memperlemah posisi birokrat-politik. Banyak dari mereka yang mulai terbuka
terhadap reformasi politik. Banyak telah menyatakan perlunya reformasi. Hasil
kemajuan ekonomi secara internal telah menghasilkan sebagian lapisan yang
menghendaki reformasi politik. Kalangan bisnis menghendaki tumbuhnya
kepercayaan dunia usaha untuk jangka panjang. Semua ini hanya dapat dicapai
dengan program reformasi ekonomi dan diperkuat dengan reformasi politik.
c.
Pengaruh
Politik Terhadap Perekonomian Di Indonesia Pada Era Reformasi
Struktur dan pandangan rezim Orde Baru telah menjadikan kalangan bisnis
dan profesional merasa lebih mudah dan aman untuk mengikuti keadaan daripada
mencoba mendorongnya ke arah lain yang lebih sehat. Kecenderungan ini dengan
sendirinya memperluaskan korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan kekuasaan pada
zaman Orde Baru.
Pada era reformasi, gejala-gejala itu sulit dihilangkan karena telah
mengakar di setiap lembaga negara, maupun di kalangan bisnis dan profesional.
Masalahnya bukan hanya korupsi yang sulit diatasi, tetapi juga hilangnya
orientasi terhadap kepentingan masyarakat luas dan lemahnya kemauan untuk merombak
sistem politik, termasuk lembaga-lembaga negara yang amat perlu diperbaiki,
struktur ekonomi, dan hubungan antara warga negara dan negara.
Di dalam negeri, perubahan di bidang politik dan pemerintahan yang
diwarnai dengan adanya perubahan signifikan dalam sistem politik (terjadi
proses demokratisasi) membuka suatu peluang baru dan juga ancaman baru bagi
dunia usaha di Indonesia. Keputusan-keputusan politik atau hukum perlu juga
selalu dicermati. Perubahan-perubahan kepemimpinan seringkali berakibat terjadinya
perubahan dalam keputusan politik dan yang akhirnya berdampak secara langsung
terhadap kondisi bisnis.
Sebagai contoh. Pada saat Orde baru, perdagangan Bahan Pangan Pokok
selalu dikendalikan oleh Pemerintah melalui BULOG, sehingga ada kondisi yang
stabil dalam perdagangan Bahan Pangan Pokok tersebut. Tetapi, setelah reformasi
peran BULOG diredefinisi sehingga tidak menjadi pemain sentral dan akhirnya
seringkali berdampak terhadap terjadinya fluktuasi harga dan kelangkaan barang
yang disebabkan permainan spekulan, sehingga yang terkena dampak/pengaruhnya
adalah rakyat miskin yang semakin menderita untuk mendapakan kebutuhan pangan
mereka.
Di tahun 2007 yang lalu kondisi perpolitikan nasional relatif stabil,
walaupun banyak unjuk rasa diberbagai daerah terutama menyangkut kekisruhan
hasil Pilkada dan di tingkat nasional menyangkut kebijakan pemerintah tentang
UU PA, UU PMA, UU Pornografi dan UU Politik yang banyak menimbulkan kontroversi
dari masyarakat. Dari kondisi politik yang demikian ternyata pengaruh terhadap
sektor ekonomi tidak begitu signifikan. Tercatat kondisi pertumbuhan ekonomi di
tahun 2007 merupakan kondisi terbaik sejak krisis ekonomi 1998. Berbagai sektor
ekonomi mengalami peningkatan, di sektor properti, nilai kredit properti yang
dirilis Bank Indonesia (BI) per Juni 2007 sebesar Rp130,93 Trilyun naik 7-8%
dibandingkan tahun sebelumnya.
Di tahun 2008 ini perilaku ekonomi menjadi sering kali sulit diprediksi.
Bahkan oleh Pemerintah sekalipun yang memiliki ekonom-ekonom yang sangat pakar di
bidangnya. Sebagai contoh yang nyata adalah dalam penyusunan APBN 2008 prediksi
harga minyak 80 US $ per barel, tapi pada awal tahun perekonomian nasional
dikejutkan dengan kenaikan harga minyak dunia yang menembus batas sampai 100 US
$ per barel bahkan melewati 110 US $ per barel sampai akhir kuartal pertama
2008. Kenaikan ini tentunya berpengaruh terhadap asumsi APBN tahun 2008
sehingga pemerintah mau tidak mau dihadapkan pada pilihan sulit antara tetap
mempertahankan subsidi BBM dengan harga yang ada atau menaikkan harga BBM untuk
mengurangi defisit APBN yang terlalu berat. Selain itu dari sektor perbankan,
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan menurunkan BI rate menjadi 8% per
Januari 2008.
Dengan dikeluarkan kebijakan ini memberikan peluang bagi sektor properti
untuk bisa berkembang. Namun dari bidang politik kemungkinan-kemungkinan
negatif bisa terjadi mengingat kondisi tahun 2008 masih rawan karena semua
partai politik akan bekerja keras untuk meraih dukungan massa, gesekan-gesekan
politik kemungkinan akan mudah terjadi. Tentunya kondisi serupa dihadapi oleh
para pebisnis, sulit sekali untuk secara akurat memprediksi kondisi ekonomi.
Hal ini antara lain juga dampak globalisasi yang menyebabkan kondisi ekonomi di
suatu negara dapat berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi negara lainnya.
Bahkan ketika ramalan tentang kondisi ekonomi akurat, masih belum jelas dampak
ekonomi terhadap industri tertentu. Sebagai contoh nyata, seperti yang telah
diketahui bersama saat ini beberapa sektor industri sedang digoncang krisis
akibat pengaruh krisis global yang tengah melanda dunia. Beberapa perusahaan
telah berencana merumahkan bahkan memPHK karyawan-karyawannya.
Dalam sektor perbankan, kalangan perbankan mengkhawatirkan gejolak
ekonomi global akan menggerus kinerja perbankan di tengah situasi politik yang
mulai menghangat menjelang pemilihan umum 2009. Di sisi lain, Bank Indonesia
meyakini fundamental industri perbankan dalam negeri cukup kuat, sehingga bank
sentral meminta sejumlah kalangan agar tetap optimistis.
Direktur Bank NISP Rudy Hamdani menyatakan pihaknya mulai ‘mencium’
gelagat dampak dari gejolak perekonomian dunia terhadap perekonomian dalam
negeri, disusul peningkatan suhu politik menjelang 2009. Akan tetapi di sisi
lain, di tengah indikator ekonomi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak,
yang berpengaruh besar dan cenderung negatif terhadap perilaku bisnis, kalangan
perbankan merasa optimis dapat meningkatkan pertumbuhan kredit. Suhu politik Pemilu
2009 yang sudah mulai terasa, diharapkan dapat mendorong gairah perekonomian.
Dana-dana politik dan perputaran uang untuk tujuan politik dan kampanye semakin
lancar sehingga diharapakan terjadi pertumbuhan dana ekonomi pihak ketiga dan
pertumbuhan bisnis yang berkaitan dengan politik, sebagai contoh bisnis
percetakan dan bisnis sablon bendera dan sebagainya.
Proyeksi semua sektor ekonomi pada tahun 2008 selalu dikaitkan dengan variabel politik. Hal ini disebabkan suhu politik di tahun 2008 diprediksi akan meningkat karena persiapan Pemilu 2009.
Proyeksi semua sektor ekonomi pada tahun 2008 selalu dikaitkan dengan variabel politik. Hal ini disebabkan suhu politik di tahun 2008 diprediksi akan meningkat karena persiapan Pemilu 2009.
Faktor politik pasti berdampak pada perekonomian, terutama pada
investasi. Situasi politik menjelang pemilu dan Sidang Umum MPR, melahirkan
iklim ketidakpastian bagi investor, terutama investor asing. Adapun pengaruh
politik menjelang Pemilihan Presiden 2009 diyakini akan memengaruhi uang
beredar. Di satu sisi, aktivitas ekonomi akan menurun seiring dengan
keterlibatan pelaku ekonomi dalam pemilu.
d.
Hubungan
Politik Luar Negeri Indonesia
Dalam masa era globalisasi ini, melakukan suatu hubungan luar negeri
sangatlah penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Seperti kita
ketahui dengan adanya campur tangan antara dunia politik di pemerintahan akan
menghasilkan suatu perjanjian atau kerjasama dengan Dunia Internasional.
Dunia politik di Indonesia bisa berdampak positif maupun negatif. Kedua
dampak ini tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Dimana ada sisi
positif di situ pasti akan nada sisi negatif. Indonesia seperti yang sudah kita
ketahui, telah menjadi anggota dalam organisasi internasional. PBB adalah salah
satu organisasi internasional dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.
Bergabungnya Indonesia menjadi anggota PBB bisa berdampak positif dan
berpengaruh sekali terhadap ekonomi bangsa ini. Dengan bergabungnya Indonesia
menjadi anggota PBB bisa berdampak positif dan bepengaruh sekali terhadap
ekonomi bangsa ini. Dengan bantuan pinjaman uang dari Bank Internasional yang
bernaung di badan PBB bisa membantu sedikit demi sedikit dampak ekonomi
Indonesia tidak hanya itu Indonesia juga bisa mengenal Dunia Internasional.
Tidak hanya ikut dalam organisasi PBB Indonesia juga ikut serta dalam organisasi G20. Dengan ikutnya Indonesia dalam organisasi tersebut sangat berdampak positif sekali karena negara kita bisa menarik simpati para investor-investor asing untuk menanamkan saham mereka di Indonesia.
Tidak hanya ikut dalam organisasi PBB Indonesia juga ikut serta dalam organisasi G20. Dengan ikutnya Indonesia dalam organisasi tersebut sangat berdampak positif sekali karena negara kita bisa menarik simpati para investor-investor asing untuk menanamkan saham mereka di Indonesia.
Dalam organisasi PBB maupun G20 Indonesia pun juga aktif dalam berbagai
hal di dalam kerajasama organisasi lainya, sebut saja ACFTA (Asean-China Free
Trade Agreement). Indonesia telah meratifikasi Framework Agreement ACFTA
(Asean-China Free Trade Agreement) melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun
2004 tanggal 15 Juni 2004.
Perjanjian perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN dan China ini
mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010. Perjanjian tersebut sebenarnya telah
ditandatangani pada tahun 2002, Pemerintah tetap memberlakukan perjanjian ACFTA
tersebut dan akan tetap berkomitmen terhadap perjanjian tersebut;
ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara
negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan
bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang
baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan
ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk
mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.
ACFTA diberlakukan dengan latar belakang untuk memajukan perekonomian
melalui kegiatan perdagangan di negara ASEAN dan China diharapkan tercapai
peningkatan kerjasama antara pelaku bisnis di negara-negara ASEAN dan juga
China melalui pembentukan “aliansi strategis”, meningkatnya kepastian bagi
produk unggulan Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar China, dan terbukanya
transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.
Damai sejahtera bagi Anda semua, nama saya Maria Fadhlan dari indonesia dan saat ini tinggal di Malaysia, saya korban penipuan di tangan pemberi pinjaman, saya telah ditipu Rp20 juta karena saya butuh pinjaman sebesar 190.000 USD untuk modal usaha. Saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, dan bisnis saya hancur dalam proses itu diterima. Saya tidak tahan lagi. semua ini terjadi pada Maret 2018, sampai saya bertemu seseorang online minggu lalu yang bersaksi tentang pemberi pinjaman jadi saya bertanya dan dia memperkenalkan saya kepada ibu yang baik yang akhirnya membantu saya mendapatkan pinjaman tidak aman dengan suku bunga rendah 190.000 USD di RIKA ANDERSON PERUSAHAAN PINJAMAN. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih, Semoga Tuhan terus memberkati Anda Ibu Rika untuk kejujuran dan perbuatan baik Anda, saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk memberi saran kepada sesama Indonesia dan seluruh dunia, bahwa ada banyak penipu di luar sana, jika Anda membutuhkan pinjaman dan pinjaman dijamin dengan cepat hubungi ibu Rika melalui email perusahaan: rikaandersonloancompany@gmail.com, Anda dapat menghubungi saya juga melalui mariafadhlan@gmail.com untuk informasi apa pun yang perlu Anda ketahui. tolong dia adalah satu-satunya perusahaan pinjaman yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya.
BalasHapusBagi - Bagi hadiah gratis !!!
BalasHapusMau??
yuk cek di link berikut :
mltd-idn(DOT)com/13fc9