Bab 16
Peningkatan Daya
Saing Industri Manufaktur
A. Permasalahan
Kurang kondusifnya lingkungan
usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama
bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama dan sektor
manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut catatan
World Economic Forum (WEF) tahun
2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104
negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72
pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara
pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia
pada tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi
ke-34. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina (urutan
ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management
Development (IMD) yang juga menerbitkan World
Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari
60 negara yang diteliti. Dari sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi
Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan
ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada
tahun 2003. Peringkat Indonesia hanya berada diatas Argentina (59) dan
Venezuela (60). Dalam pengamatan lembaga ini, posisi Filipina relatif lebih
baik (yaitu pada urutan ke-52), walaupun peringkatnya juga terus mengalami
penurunan dari posisinya di urutan ke-35 pada tahun 2000.
Terpuruknya daya saing
tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolok ukur WEF,
diidentifikasi 5 (lima)
faktor penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor,
yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas
kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat
pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasikebutuhan
peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran
bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada
tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan dalam
rangka dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat.
Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi
daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional
dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian
nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional,
investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi
kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan
negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan
untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi
publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya,
(c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi
secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang
rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan
yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum
profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik,
teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat
akan pendidikan dan kesehatan.
Dalam rentang waktu yang
lebih lama, United Nations Industrial
Development Organization (UNIDO) mengembangkan indikator Competitiveness
Industrial Performance (CIP) yang kemudian diterapkan untuk mengukur peringkat
daya saing sektor industri manufaktur pada terutama 93 negara dalam periode
1980 - 2000. Dalam Industrial Development
Report 2004, ukuran indikator CIP
tersebut terdiri dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah
industri manuktur per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c)
insensitas industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada
PDB dan kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada
sektor industri manufaktur, dan (d) kualitas eskpor yang diukur dari kontribusi
ekspor manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi
menengah dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur.
Dalam periode 1980-2000
kinerja industri manufaktur Indonesia
dikategorikan sebagai salah satu pemenang utama (main winner) bersama-sama dengan beberapa negara negara berkembang
lain yang kebanyak dari kawasan Asia Timur. Dalam periode dua dekade tersebut,
kawasan Asia Timur memang merupakan kawasan yang disebut sebagai mesin
pertumbuhan bagi peningkatan peran negara berkembang dalam pengembangan
industri manufaktur. Di antara negara-negara berkembang, Cina adalah pemenang
nomor wahid. Sementara itu, peringkat kinerja industri manufaktur Indonesia
memang meningkat dari urutan ke-75 pada tahun 1980, menjadi urutan ke-54 pada
tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000. Namun demikian, dibandingkan
dengan beberapa negara pesaing utama di Asia Timur (termasuk ASEAN), posisi Indonesia
memang relatif terpuruk. Gambaran kinerja industri manufaktur untuk Kawasan
Asia Timur dapat diperhatikan dalam tabel berikut ini.
Kinerja Industri Manufaktur Kawasan Asia Timur 1980 – 2000
(dalam peringkatnya dari 93
negara di dunia)
No.
|
Negara
|
Tahun 2000
|
Tahun 1990
|
Tahun 1980
|
1
|
Singapura
|
1
|
1
|
2
|
2
|
Taiwan
|
9
|
15
|
18
|
3
|
Korea Selatan
|
10
|
18
|
23
|
4
|
Malaysia
|
15
|
23
|
40
|
5
|
Thailand
|
23
|
32
|
47
|
6
|
Cina
|
24
|
26
|
39
|
7
|
Filipina
|
25
|
43
|
42
|
8
|
Hongkong, SAR
|
27
|
20
|
16
|
9
|
Indonesia
|
38
|
54
|
75
|
11
|
Fiji - Pasifik
|
68
|
61
|
52
|
12
|
Papua
New Guinea
|
82
|
76
|
80
|
Sumber: UNIDO, Industri Development Report 2004
Gambaran yang diungkapkan
oleh UNIDO memang baru sampai pada tahun 2000. Memperhatikan perkembangan
kondisi perekonomian dan terpuruknya kegiatan sektor produksi, kemungkinan
besar peringkat sektor industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah tahun
2000. Memang, seperti telah disebutkan dalam bab-bab terdahulu perbaikan dalam
kondisi ekonomi makro telah terjadi sejak dua tahun terakhir, prestasi di atas
belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi, terutama
manufaktur ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan daya
saingnya.
Selain permasalahan berkenaan
dengan kondisi ekonomi, faktor-faktor penting di luar ekonomi juga belum
menunjukkan perbaikan kinerja secara nyata. Sebagai salah satu contoh, pengembangan
dan penerapan iptek terutama untuk kepentingan produksi masih sangat terbatas.
Dengan urutan Indonesia di posisi ke 60 dari 72 negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi
(IPT), hal tersebut mengindikasikan bahwa integrasi peningkatan iptek untuk
produksi masih akan banyak mengalami hambatan. Permasalahan lain yang juga
masih mengganggu berkenaan dengan iklim ketenagakerjaan, pengembangan
infrastruktur, dan pengembangan SDM.
Berbagai permasalahan di
tingkat makro di atas, membawa pengaruh negatif pada kondisi pada tataran
bisnis atau industri. Pengembangan kelembagaan dan kemampuan untuk peningkatan
kapasitas sumberdaya manusia pada tingkat perusahaan tidak berjalan sesuai
harapan. Sebagai contoh, peningkatan produktivitas pekerja tidak tercipta.
Dari indikasi sederhana seperti pertumbuhan upah riil dibandingkan dengan
pertumbuhan nilai tambah per pekerja untuk sektor industri manufaktur, kondisinya
menunjukan penurunan untuk seluruh skala usaha. Contoh lain, mekanisme hubungan
industrial yang terjadi belum secara proporsional menampung kepentingan
pengusaha dan pekerja. Sementara itu, standardisasi nasional produk industri, pengembangan
infrastruktur yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan sektor industri, serta
peningkatan kompetensi tenaga kerja belum sepenuhnya berjalan optimal karena
keterbatasan sumberdaya.
Meskipun permasalahan
penurunan daya saing ini berawal sebelum krisis tahun 1997, perkembangan
industri sangat memburuk setelah krisis tahun 1997. Banyak pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”. Gejala ini ditunjukkan dengan
mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi
kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi seperti ditunjukkan tabel di
bawah ini. Pemanfaatan kapasitas terpasang industri tahun 2002 hanya berkisar
di 60 persen, menurun jauh dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang
berkisar di 80 persen. Dalam periode yang sama, jumlah perusahaan industri
berskala sedang dan besar yang tutup atau bankrut mencapai hampir 1.800 unit
usaha atau sekitar turun sebesar 8 persen dari 22.997 unit usaha yang ada tahun
1996. Sementara itu, nilai tambah produksi industri pengolahan berskala besar
dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan, sekitar 15 persen, dari
126,54 persen pada tahun 1997 menjadi 100,29 persen pada tahun 2002.
Indikator
|
1996
|
1997
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
Utilisasi
Kapasitas *)
|
82.10%
|
81.19%
|
54.99%
|
56.14%
|
61.68%
|
62.32%
|
63.33%
|
Jumlah Perusahaan
|
22,997
|
22,386
|
21,423
|
22,070
|
22,174
|
21,396
|
21,146
|
Indeks
Produksi **)
|
120.04%
|
126.54%
|
103.46%
|
105.44%
|
109.22%
|
108.04%
|
100.29%
|
Catatan:
*) Data tahun 1996
dan 1997 dari BPS; sedangkan dari tahun 1998 – 2002 dari DepPerindag
**) 1993 = 100%
Penyebab utama
fenomena tersebut adalah daya saing produk-produk manufaktur yang terus melemah.
Di dalam negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah
bersaing dengan produk impor, baik yang legal apalagi yang tidak legal. Di
pasar internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih
menjadi primadoma eskpor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara
ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing kita, oleh berbagai kalangan, salah
satunya disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Sebagai illustrasi, dari hasil identifikasi perusahaan
Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita diberi indeks 100, maka Cina hanya
sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi
manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26.
Sebagai bandingannya: overhead di
Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89.
Penelaahan terhadap tingginya
kedua pos pembiayaan di atas menyimpulkan beberapa permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, yaitu sebagai
berikut:
·
KKN dan
layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan
umum menambah biaya overhead sekitar
8.7 persen - 11.2 persen.
·
Cost of money yang relatif tinggi. Banyak pengusaha masing menganggap tingkat suku bunga
saat ini sangat tinggi. Pengusaha dalam negeri yang mengandalkan perbankan
dalam negeri akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya dari
luar negeri yang bunganya berkisar 4 – 6 persen.
·
Administrasi
perpajakan yang belum optimal. Pengusaha
menganggap administrasi perpajakan terutama dalam kaitannya dengan restitusi
produk-produk industri ekspor sangat tidak efisien. Hal tersebut mengakibatkan
daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena pengusaha pada akhirnya
membebankan ke harga jualnya. Selain itu, hal tersebut juga tidak kondusif
untuk integrasi antar industri terkait untuk pengadaan bahan antaranya. Pada
umumnya mereka memilih untuk impor bahan baku atau produk antara karena sejak
awal tidak berurusan dengan PPN 10 persen.
·
Kandungan
impor sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh
industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun
2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut
mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan
barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor
ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar
rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik.
·
Lemahnya
penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai
tambah industri nasional relatif rendah, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik
industri manufaktur masih banyak tipe “tukang jahit,” seskipun dalam komposisi
ekspor telah diamati mulai adanya peningkatan proporsi produk ekspor
berteknologi menengah dan tinggi. Kehadiran foreign
direct investment (FDI) yang mempunyai potensi sebagai basis untuk alih
teknologi belum dapat dimanfaatkan.
·
Kualitas
SDM relatif rendah. Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam
22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen atau berpendidikan sarjana, sekitar
0,1 persen berpendidikan master, dan hanya 225 orang berpendidikan doktor.
Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga
menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan
di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir
84 persen perusahaan-perusahaannya. SDM dengan kualitas ini akan sulit
diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas yang dituntut apalagi inovasi-inovasi
yang bermutu untuk teknologi produksinya.
·
Iklim
persaingan yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam
kondisi mendekati ”monopoli”. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya indeks
konsentrasi untuk dua perusahaan (CR2). Pada tahun 2002, lebih dari 50 persen
kelompok usaha industri memiliki angka diatas 0,50 dan banyak kelompok industri
yang angka konsentrasi yang makin besar. Beberapa contoh adalah pada industri
tepung terigu, rokok putih, dan kendaraan roda 2. Keadaan ini menyebabkan
insentif untuk penurunan biaya produksi menjadi kecil.
Peningkatan daya
saing industri manufaktur juga tergantung dari kondisi struktural sektornya.
Pada umumnya, struktur industri masih
lemah. Sebagian besar industri nasional umumnya memiliki struktur industri
yang dangkal. Sebagai illustrasi, di industri kendaraan bermotor pada tahun
1997 jumlah produser komponen mencapai 155 perusahaan. Namun hampir semua
produser komponen ini merupakan pemasok lapis pertama, hanya ada beberapa
produsen menjadi pemasok lapis kedua. Hal ini menunjukkan lemahnya kedalam
struktur industri mobil nasional. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama di
Jepang ada 350 pemasok lapis pertama, 2.000 pemasuk lapis kedua, dan 10.000
pemasok lapis ketiga. Artinya industri nasional sangat terintegrasi secara
vertikal.
Sementara itu, peranan
industri kecil dan menengah (termasuk RT) masih minim. Industri berskala
menengah (20-99 orang tenaga kerja), berskala kecil (5-19 orang tenaga kerja),
dan industri rumah tangga (1 – 4 orang tenaga kerja) mempekerjakan dua pertiga
tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Namun demikian, segmen industri ini
menyumbang hanya 5-6 persen dari total nilai tambah manufaktur. Industri kecil
dan menengah terkonsentrasi di sub-sektor makanan dan kayu. Industri-industri pada
segmen ini umumnya melayani konsumer akhir atau memproduksi komponen untuk ”after sales market”, dengan segmen kelas
terendah. Sangat sedikit diantara mereka yang memproduksi bahan baku dan/atau
barang intermediate serta memasoknya
ke industri hilir. Dengan kondisi ini, industri kecil dan menengah di Indonesia
belum berada dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala
besar.
B. Sasaran
1. Peningkatan
pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik, baik untuk bahan baku
maupun produk akhir, sebagai cerminan daya saingnya sektor ini dalam menghadapi
serbuan produk-produk impor.
2. Meningkatnya
volume ekspor sektor industri manufaktur dalam total ekspor nasional, terutama
pada produk ekspor yang memiliki kandungan teknologi menengah dan tinggi.
3. Meningkatnya
proses alih teknologi dari foreign direct
investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara
dari produk lokal serta meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke
luar pulau Jawa, terutama industri pengolahan hasil sumberdaya alam.
4. Meningkatnya
iklim persaingan secara sehat yang dicerminkan dari turunnya index CR2 terutama
pada sub-sektor yang beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli.”
5. Meningkatnya
kesadaran pelaku industri akan pentingnya standar produk barang sebagai faktor
penguat daya saing produk nasional.
6. Sektor
industri manufaktur (non-migas) ditargetkan tumbuh dengan laju rata-rata 8,56
persen per tahun. Dengan tingkat operasi hanya sekitar 60 persen pada tahun 2003,
target peningkatan kapasitas (terutama sub-sektor yang masih berdaya saing) perlu
didorong ke tingkat optimum (minimal 85 persen) dalam dua tahun pertama.
7. Target
penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun mendatang adalah sekitar 500 ribu per
tahun (termasuk industri pengolahan minyak dan gas bumi). Memperhatikan kinerja
penyerapannya yang cenderung kontraktif beberapa tahun belakangan ini, target
tersebut dapat diartikan bahwa penyerapan tenaga kerja baru lebih banyak
mengandalkan pada basis industri baru yang perlu dipacu pertumbuhannya. Sejalan
dengan upaya revitalisasi pertanian dan pedesaan, langkah pengembangan untuk
mewujudkan industrialisasi perdesaaan menjadi sangat penting. Bagi industri skala
menengah dan besar yang telah berdiri, kalaupun mulai tahun 2007 terdapat
investasi baru, penyerapan tambahan lapangan kerjanya relatif kecil, hanya
sekitar 40-50 ribu pekerja. Dari perhitungan ICOR-nya selama ini, pertumbuhan tersebut membutuhkan dukungan
tambahan investasi yang diperkirakan mencapai 40 sampai 50 triliun rupiah per
tahun.
C. Arah Kebijakan
Pada tingkat makro, peningkatan
kinerja daya saing industri manufaktur secara berkelanjutan membutuhkan landasan
ekonomi yang kuat melalui terutama upaya menjaga stabilitas ekonomi makro serta
perwujudan iklim usaha dan investasi yang sehat. Kondisi tersebut akan
memfasilitasi terciptanya inovasi dan peningkatan produktivitas serta pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih luas dan dapat dijangkau sampai pada
segmen sektor industri manufaktur yang kecil sekalipun.
Dalam tataran mikro, meminjam
identifikasi UNIDO, 4 (empat) faktor
utama yang perlu diperhatikan di dalam meningkatkan kinerja daya saing sektor
industri manufaktur adalah: (a) kemampuan (ketrampilan) SDM, (b) penguasaan dan
penerapan teknologi, (c) aliran masuk FDI sebagai potensi sumber alih teknologi
dan perluasan pasar ekspor, dan (d) kapasitas infrastruktur (termasuk
infrastruktur bagi pengembangan teknologi). Keempat faktor di atas merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kebijakan dan program yang
dirumuskan dalam Bab-Bab yang terkait.
Dalam lima tahun mendatang, arah pengembangan sektor industri manufaktur
adalah mendorong terwujudnya peningkatan utilitasi kapasitas; memperluas basis
usaha dengan penyederhanaan prosedur perijinan dan penyelenggaraan usaha untuk
peningkatan peran industri kecil dan menengah; meningkatkan iklim persaingan yang
sehat dan berkeadilan; memperluas penerapan standarisasi produk industri; dan mendorong
perkuatan struktur industri pada sub-sektor yang memiliki potensi keuntungan
kompetitif ke depan.
Apabila mekanisme pasar tidak dapat berlangsung efisien, langkah-langkah
intervensi strategis diselenggarakan secara fungsional dalam kepentingan menjaga
kesinambungan pembangunan sekaligus perkuatan struktur industri. Hal tersebut
terutama terkait dengan pengembangan teknologi dan keterampilan tenaga kerja
industri, layanan informasi pasar baik di dalam maupun luar negeri, serta
sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk.
Dengan semakin ketatnya persaingan global dan semakin pesat dan
spesifiknya perkembangan teknologi, kualitas kebijakan industri dituntut lebih
baik dan lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan rumusan strategis dan
kebijakan pengembangan industri manufaktur pada tingkat sub-sektor. Sesuai
dengan permasalahan yang mendesak dihadapi serta terbatasnya kemampuan
sumberdaya, prioritas pengembangan sub-sektor industri dalam lima tahun kedepan
ditetapkan pada sub-sektor industri manufaktur yang memenuhi satu atau lebih kriteria
sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja; (2) memenuhi kebutuhan dasar
dalam negeri; (3) memiliki potensi pengembangan ekspor; dan (4) mengolah
sumberalam dalam negeri. Langkah-langkah intervensi pada tingkat sub-sektor tetap
bersifat fungsional sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya. Pola pengembangan
jaringan produksinya didekati dengan menggunakan unit analisis klaster
industri. Adapun untuk masing-masing sub-sektor industrinya, penanganan
isunya diprioritaskan pada upaya: (1) merevitalisasi kinerja sub-sektor
industrinya, khususnya peningkatan utilitas kapasitas terpasang hingga 80
persen; (2) memperkuat struktur industri, termasuk di dalamnya pemberdayaan
sumberdaya industri; (3) memperluas basis produksi, baik dengan mendorong
terciptanya investasi baru maupun mendorong pengembangan industri skala kecil-menengah;
serta (4) mempertahankan dan bila mungkin bahkan meningkatkan daya saingnya di
pasar global.
D. Program-Program Pembangunan
peningkatan ketrampilan sdm industri
Dalam rangka pengembangan SDM
industri, berbagai langkah bidang ini selaras dengan berbagai kebijakan dan
program di dalam Bab 21 tentang
Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan. Program yang terkait terutama adalah
Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Tujuan dari
program ini adalah meningkatkan keterampilan, keahlian, dan kompetensi
tenaga kerja industri sehingga mampu meningkatkan produktivitas industri
nasional dan mampu bersaing di pasar kerja global.
Kegiatan pokok yang akan
dilakukan antara lain adalah: (1) pengembangan standar kompetensi kerja dan
sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja; (2) penyelenggaraan program-program
pelatihan kerja berbasis kompetensi; (3) perkuatan kelembagaan Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP); (4) peningkatan profesionalisme tenaga kepelatihan
dan instruktur pelatihan kerja; dan (5) peningkatan sarana dan prasarana
lembaga latihan kerja.
Dari sisi pendidikan, upaya
pengembangan SDM akan bermanfaat di dalam peningkatan ketrampilan dalam jangka
menengah dan panjang. Dalam kaitan ini, sesuai dengan dalam rumusan Bab 26 tentang Peningkatan Akses
Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas, upaya di bidang pendidikan yang terkait dengan peningkatan SDM industri
adalah dalam Program Pendidikan Menengah yang di dalam salah satu kegiatan
pokoknya adalah pengembangan pendidikan kejuruan mengacu pada standard
kompetensi kerja nasional, internasional dan industri serta penataan bidan
gkeahlian pada pendidikan menengah kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan
lapangan kerja serta mendukung upaya meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha
dan industri.
Peningkatan standardisasi
produk industri
1.
Program
Pengembangan Standardisasi Nasional
Tujuan program ini adalah meningkatkan daya saing
produk nasional, memperlancar arus barang dan jasa, dan menjadi sarana untuk
melindungi industri dan konsumen dalam negeri, serta mengembangkan kerjasama
antar negara dalam kerangka saling pengakuan (mutual recoqnition) baik bilateral maupun multilateral. Sasaran
programnya adalah meningkatnya penyusunan dan penerapan SNI, meningkatnya
kapasitas kelembagaan infrastruktur standardisasi, dan meningkatnya kerjasama
standardisasi baik bilateral maupun multilateral, terutama ke negara tujuan
ekspor utama.
Kegiatan pokok diarahkan
untuk mendorong sekaligus memfasilitasi terjadinya perluasan (ekstensifikasi)
dan perkuatan (intensifikasi) berbagai aktivitas ekonomi sektor produksi dan
distribusi adalah untuk meningkatkan kualitas, mendorong produktivitas dan efisiensi
di dalam sistem produksi, yang antara lain mencakup: (1) pengembangan
infrastruktur kelembagaan standardisasi melalui penelitian, pengkajian, dan
pengembangan di bidang pengukuran, standardisasi, pengujian dan mutu; (2)
optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana litbang, pengakuan atas kualitas
produk (SNI/ISO) dan pemberian insentif fiskal yang cermat dalam kegiatan
produksi yang mendorong tumbuhnya iklim inovasi (padat teknologi), (3)
mengembangkan pola insentif dalam bentuk kemitraan lembaga litbang dan
industri, sosialisasi standar mutu terhadap IKM, asuransi teknologi korporasi
usaha berbasis produk litbang; (4) mengembangkan kerjasama standardisasi di
tingkat regional dan internasional (ACCSQ, APEC, WTO); (5) pengembangan sistem
informasi standardisasi; (6) berperan aktif dalam berbagai forum dan organisasi
bidang standardisasi internasional antara lain: ISO, IEC, CAC, PAC, APLAC,
ILAC, IAF, BIPM, dan sebagainya; dan (7) menyediakan kebutuhan sarana dan
prasarana operasional kelembagaan yang menangani kegiatan pengembangan
standardisasi nasional.
Perkuatan Daya Saing Industri
Manufaktur
1. Program Pengembangan Industri Kecil Dan Menengah
Tujuan program ini adalah menjadikan industri kecil dan menengah
(IKM) sebagai basis industri nasional. Agar dapat menjadi basis industri
nasional, IKM dituntut mampu menghasilkan barang yang berkualitas tinggi dengan
harga yang kompetitif dan mampu menepati jadwal penyerahan secara disiplin baik
untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir maupun untuk memenuhi pasokan bagi
industri yang lebih hilir. Secara alami IKM memiliki kelemahan dalam menghadapi
ketidakpastian pasar, mencapai skala ekonomi, dan memenuhi sumberdaya yang
diperlukan. Sehingga untuk mencapai tujuan program ini, pemerintah akan
membantu IKM dalam mengatasi permasalahan yang muncul akibat dari kelemahan
alami tersebut. Ukuran keberhasilan program ini adalah jumlah perusahaan IKM
yang mendapat kontrak pasokan dari industri hilir, memperoleh sertifikat
kualitas, memperoleh kredit dari perbankan dengan prestasi pengembalian yang
baik, serta yang berhasil tumbuh ke skala lebih besar.
2. Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri
Upaya-upaya dalam program ini
selaras dengan berbagai kebijakan dan program dalam Bab 20 tentang Peningkatan Kemampuan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam salah satu programnya yaitu Program
Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi. Tujuan dari program ini adalah
meningkatkan kemampuan industridalam mencipta, mengembangkan, dan menerapkan
pengetahuan dan teknologi baik dalam rancangan produk baru, proses produksi,
maupun dalam sistem distribusi dan logistik perusahaan.
Secara umum pengelola
industri nasional belum memandang kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi
layak dilakukan karena dianggap memiliki eksternalitas yang tinggi berjangka
panjang, dan dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan
dari miskinnya industri nasional dalam hal pemilikan sumberdaya teknologi.
Sehingga dalam rangka mendorong kalangan industri meningkatkan kegiatan pengembangan
dan penerapan teknologi, kegiatan pokok pemerintah antara lain: (1)
meningkatkan dukungan kegiatan penemuan dan pengembangan teknologi di industri
baik dalam bentuk insentif pajak, asuransi teknologi baik bagi usaha kecil,
menengah, dan koperasi; (2) pengembangan klaster industri berbasis teknologi;
(3) kemitraan antara litbang industri dan lembaga litbang pemerintah; dan
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya teknologi nasional yang tersebar di
berbagai litbang pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga swasta, dan
tenaga ahli perorangan.
Ukuran keberhasilan program
ini adalah meningkatnya daya saing industri nasional dengan tumbuhnya basis
baru industri dalam bentuk tumbuhnya produk-produk baru rancangan dalam negeri,
lahirnya industri baru yang meningkatkan nilai tambah sumber-daya alam, serta
lahirnya wiraswastawan berbasis pengetahuan dan teknologi.
Perlu cermati bahwa
dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur, FDI memiliki peran penting karena kehadirannya jelas merupakan sumber
potensi dalam penerapan dan alih teknologi serta peningkatan akses pasar
ekspor. Oleh karena itu, keberhasilan menarik FDI dari hasil berbagai kegiatan dalam Program Peningkatan Iklim
Investasi dan Realisasi Investasi serta Program Peningkatan Promosi dan
Kerjasama Investasi sebagaimana diuraikan dalam Bab 15 tentang Peningkatan
Investasi dan Ekspor perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendukung
upaya peningkatan teknologi industri.
3. Penataan Struktur Industri
Tujuan program ini adalah
untuk memperbaiki struktur industri nasional baik dalam hal konsentrasi
penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku dan bahan pendukung,
komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri hilir. Pada tahap awal
pembangunan industri nasional, sumberdaya industri dan wiraswastawan industri
masih sangat langka sehingga kebijakan nasional sangat permisif terhadap
praktek-praktek monopoli. Itu sebabnya hingga saat ini angka konsentrasi
industri nasional termasuk sangat tinggi. Kondisi lain yang dihadapi industri
nasional adalah tingginya ketidakpastian hubungan antara unit usaha. Kondisi
ini mendorong industri tumbuh dengan pola yang sangat terintegrasi secara
vertikal.
Untuk mewujudkan tujuan
program ini dalam memperbaiki konsentrasi industri, pemerintah akan melakukan
upaya-upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip tata pengelolaan korporasi yang
baik dan benar (good corporate
governance, GCG) secara sistematis dan konsisten, dan menurunkan besarnya
hambatan masuk unit usaha baru ke pasar yang monopolistis,
Sedangkan untuk mewujudkan
tujuan program ini dalam pembangunan jaringan pemasok industri hilir pemerintah
akan meningkatkan kepastian hubungan antar unit usaha dengan antara lain
membangun jaringan pengukuran, standardisasi, pengujian, dan kualitas (MSTQ, measurement, standardisasi, testing, and
quality), jaringan informasi baik kebutuhan industri hilir maupun kemampuan
industri pemasok yang handal dan akurat, jaringan promosi kemampuan industri
pemasok, dan jaringan pendampingan pengelolaan bagi industri pemasok.
Ukuran keberhasilan program
ini adalah (1) terbentuknya struktur penguasaan pasar yang makin sehat dan
kompetitif; dan (2) terbangunnya klaster-klaster industri yang sehat dan kuat
dengan jaringan industri pendukung setimpal dan sarana umum yang memadai.
Perlu pula ditingkatkan iklim
persaingan secara sehat untuk mendorong perusahaan berkompetisi sehubungan
dengan semakin ketatnya persaingan global. Dalam konteks ini, upayanya selaras
dengan tujuan di dalam Program Persaingan Usaha seperti diuraikan dalam Bab 15 tentang Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas.
Peningkatan Kapasitas
Infrastruktur
Dalam rangka mengantisipasi peningkatan utilitasi kapasitas, pertumbuhan
investasi baru, penyebaran kegiatan industri ke luar Pulau Jawa, dan
peningkatan basis produksi sektor ini di daerah-daerah perdesaan, percepatan
pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting. Berbagai langkah-langkah yang
ditempuh dalam bidang ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program
sebagaimana diuraikan dalam Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan
Infrastruktur.
Optimalisasi Administrasi Dan
Insentif Perpajakan
Upaya untuk menggairahkan peningkatan basis produksi, produktivitas, dan
investasi sektor industri manufaktur sangat tergantung dari komitmen pemerintah
di dalam memfasilitasi berlangsungnya efisiensi usaha. Dalam hubungan ini,
peranan penyelenggaraan fasilitasi dan pelayanan publik dalam hal perpajakan
yang efisien sangat penting. Meskipun demikian, upaya tersebut tetap perlu
diselenggarakan dalam disiplin untuk tetap menjaga stabilitas makro ekonomi
yang telah dicapai selama ini. Oleh karena itu, berbagai langkah dan program
dalam bidang ini selaras dengan uraian dalam Bab 22 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro.
Program-program pembangunan yang memiliki keterkaitan erat adalah Program
Peningkatan Penerimaan dan Pengamanan Keuangan Negara yang di dalam kegiatannya
antara lain adalah menyelenggarakan reformasi perpajakan dan reformasi
kepabeanan, serta Program Pengembangan Kelembagaan Keuangan yang di dalamnya
mempunyai langkah-langkah untuk memberikan dukungan terhadap peningkatan
penyaluran kredit bagi UMKM dan sektor pertanian.
Peningkatan Nilai Tambah Industri
Berbasis Sumberdaya Alam
Berkenaan dengan peningkatan basis produksi, berbagai upaya untuk
meningkatkan nilai tambah sub-sektor industri yang berbasis sumberdaya alam
sangat diperlukan. Langkah ini selaras dengan berbagai program di dalam Bab 17 tentang Revitalisasi
Pertanian yang di dalamnya juga mencakup pengembangan untuk berbagai
kegiatan produksi perikanan dan kehutanan. Sementara itu, dalam menumbuhkan basis
produksi, kegiatan non-pertanian yang modern (industrialisasi) di
kawasan-kawasan perdesaan, langkah-langkahnya diselaraskan dengan arahan di
dalam Bab 25 tentang Pembangunan
Perdesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar