Rabu, 16 November 2016

AKUNTANSI MANAJEMEN Bab 16



Bab 16
Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur



A. Permasalahan

Kurang kondusifnya lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama dan sektor manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi ke-34. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina (urutan ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management Development (IMD) yang juga menerbitkan World Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Dari sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003. Peringkat Indonesia hanya berada diatas Argentina (59) dan Venezuela (60). Dalam pengamatan lembaga ini, posisi Filipina relatif lebih baik (yaitu pada urutan ke-52), walaupun peringkatnya juga terus mengalami penurunan dari posisinya di urutan ke-35 pada tahun 2000.

Terpuruknya daya saing tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolok ukur WEF, diidentifikasi 5 (lima) faktor penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor, yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasikebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan dalam rangka dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat.

Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.

Dalam rentang waktu yang lebih lama, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) mengembangkan indikator Competitiveness Industrial Performance (CIP) yang kemudian diterapkan untuk mengukur peringkat daya saing sektor industri manufaktur pada terutama 93 negara dalam periode 1980 - 2000. Dalam Industrial Development Report 2004, ukuran indikator CIP tersebut terdiri dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manuktur per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) insensitas industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor industri manufaktur, dan (d) kualitas eskpor yang diukur dari kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur.

Dalam periode 1980-2000 kinerja industri manufaktur Indonesia dikategorikan sebagai salah satu pemenang utama (main winner) bersama-sama dengan beberapa negara negara berkembang lain yang kebanyak dari kawasan Asia Timur. Dalam periode dua dekade tersebut, kawasan Asia Timur memang merupakan kawasan yang disebut sebagai mesin pertumbuhan bagi peningkatan peran negara berkembang dalam pengembangan industri manufaktur. Di antara negara-negara berkembang, Cina adalah pemenang nomor wahid. Sementara itu, peringkat kinerja industri manufaktur Indonesia memang meningkat dari urutan ke-75 pada tahun 1980, menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing utama di Asia Timur (termasuk ASEAN), posisi Indonesia memang relatif terpuruk. Gambaran kinerja industri manufaktur untuk Kawasan Asia Timur dapat diperhatikan dalam tabel berikut ini.

Kinerja Industri Manufaktur Kawasan Asia Timur 1980 – 2000
(dalam peringkatnya dari 93 negara di dunia)
No.
Negara
Tahun 2000
Tahun 1990
Tahun 1980
1
Singapura
1
1
2
2
Taiwan
9
15
18
3
Korea Selatan
10
18
23
4
Malaysia
15
23
40
5
Thailand
23
32
47
6
Cina
24
26
39
7
Filipina
25
43
42
8
Hongkong, SAR
27
20
16
9
Indonesia
38
54
75
11
Fiji - Pasifik
68
61
52
12
Papua New Guinea
82
76
80
Sumber: UNIDO, Industri Development Report 2004

Gambaran yang diungkapkan oleh UNIDO memang baru sampai pada tahun 2000. Memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian dan terpuruknya kegiatan sektor produksi, kemungkinan besar peringkat sektor industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah tahun 2000. Memang, seperti telah disebutkan dalam bab-bab terdahulu perbaikan dalam kondisi ekonomi makro telah terjadi sejak dua tahun terakhir, prestasi di atas belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi, terutama manufaktur ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan daya saingnya.

Selain permasalahan berkenaan dengan kondisi ekonomi, faktor-faktor penting di luar ekonomi juga belum menunjukkan perbaikan kinerja secara nyata. Sebagai salah satu contoh, pengembangan dan penerapan iptek terutama untuk kepentingan produksi masih sangat terbatas. Dengan urutan Indonesia di posisi ke 60 dari 72 negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT), hal tersebut mengindikasikan bahwa integrasi peningkatan iptek untuk produksi masih akan banyak mengalami hambatan. Permasalahan lain yang juga masih mengganggu berkenaan dengan iklim ketenagakerjaan, pengembangan infrastruktur, dan pengembangan SDM.

Berbagai permasalahan di tingkat makro di atas, membawa pengaruh negatif pada kondisi pada tataran bisnis atau industri. Pengembangan kelembagaan dan kemampuan untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada tingkat perusahaan tidak berjalan sesuai harapan. Sebagai contoh, peningkatan produktivitas pekerja tidak tercipta. Dari indikasi sederhana seperti pertumbuhan upah riil dibandingkan dengan pertumbuhan nilai tambah per pekerja untuk sektor industri manufaktur, kondisinya menunjukan penurunan untuk seluruh skala usaha. Contoh lain, mekanisme hubungan industrial yang terjadi belum secara proporsional menampung kepentingan pengusaha dan pekerja. Sementara itu, standardisasi nasional produk industri, pengembangan infrastruktur yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan sektor industri, serta peningkatan kompetensi tenaga kerja belum sepenuhnya berjalan optimal karena keterbatasan sumberdaya.

Meskipun permasalahan penurunan daya saing ini berawal sebelum krisis tahun 1997, perkembangan industri sangat memburuk setelah krisis tahun 1997. Banyak pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi. Gejala ini ditunjukkan dengan mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi seperti ditunjukkan tabel di bawah ini. Pemanfaatan kapasitas terpasang industri tahun 2002 hanya berkisar di 60 persen, menurun jauh dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang berkisar di 80 persen. Dalam periode yang sama, jumlah perusahaan industri berskala sedang dan besar yang tutup atau bankrut mencapai hampir 1.800 unit usaha atau sekitar turun sebesar 8 persen dari 22.997 unit usaha yang ada tahun 1996. Sementara itu, nilai tambah produksi industri pengolahan berskala besar dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan, sekitar 15 persen, dari 126,54 persen pada tahun 1997 menjadi 100,29 persen pada tahun 2002.

Indikator
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Utilisasi
Kapasitas *)
82.10%
81.19%
54.99%
56.14%
61.68%
62.32%
63.33%
Jumlah Perusahaan
22,997
22,386
21,423
22,070
22,174
21,396
21,146
Indeks
Produksi **)
120.04%
126.54%
103.46%
105.44%
109.22%
108.04%
100.29%
Catatan:
*) Data tahun 1996 dan 1997 dari BPS; sedangkan dari tahun 1998 – 2002 dari DepPerindag
**) 1993 = 100%

Penyebab utama fenomena tersebut adalah daya saing produk-produk manufaktur yang terus melemah. Di dalam negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, baik yang legal apalagi yang tidak legal. Di pasar internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih menjadi primadoma eskpor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing kita, oleh berbagai kalangan, salah satunya disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Sebagai illustrasi, dari hasil identifikasi perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89.

Penelaahan terhadap tingginya kedua pos pembiayaan di atas menyimpulkan beberapa permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, yaitu sebagai berikut:

·         KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8.7 persen - 11.2 persen.

·         Cost of money yang relatif tinggi. Banyak pengusaha masing menganggap tingkat suku bunga saat ini sangat tinggi. Pengusaha dalam negeri yang mengandalkan perbankan dalam negeri akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya dari luar negeri yang bunganya berkisar 4 – 6 persen.

·         Administrasi perpajakan yang belum optimal. Pengusaha menganggap administrasi perpajakan terutama dalam kaitannya dengan restitusi produk-produk industri ekspor sangat tidak efisien. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena pengusaha pada akhirnya membebankan ke harga jualnya. Selain itu, hal tersebut juga tidak kondusif untuk integrasi antar industri terkait untuk pengadaan bahan antaranya. Pada umumnya mereka memilih untuk impor bahan baku atau produk antara karena sejak awal tidak berurusan dengan PPN 10 persen.

·         Kandungan impor sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik.

·         Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai tambah industri nasional relatif rendah, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik industri manufaktur masih banyak tipe “tukang jahit,” seskipun dalam komposisi ekspor telah diamati mulai adanya peningkatan proporsi produk ekspor berteknologi menengah dan tinggi. Kehadiran foreign direct investment (FDI) yang mempunyai potensi sebagai basis untuk alih teknologi belum dapat dimanfaatkan.

·         Kualitas SDM relatif rendah. Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen atau berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen berpendidikan master, dan hanya 225 orang berpendidikan doktor. Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. SDM dengan kualitas ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas yang dituntut apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya.

·         Iklim persaingan yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli”. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya indeks konsentrasi untuk dua perusahaan (CR2). Pada tahun 2002, lebih dari 50 persen kelompok usaha industri memiliki angka diatas 0,50 dan banyak kelompok industri yang angka konsentrasi yang makin besar. Beberapa contoh adalah pada industri tepung terigu, rokok putih, dan kendaraan roda 2. Keadaan ini menyebabkan insentif untuk penurunan biaya produksi menjadi kecil.

Peningkatan daya saing industri manufaktur juga tergantung dari kondisi struktural sektornya. Pada umumnya, struktur industri masih lemah. Sebagian besar industri nasional umumnya memiliki struktur industri yang dangkal. Sebagai illustrasi, di industri kendaraan bermotor pada tahun 1997 jumlah produser komponen mencapai 155 perusahaan. Namun hampir semua produser komponen ini merupakan pemasok lapis pertama, hanya ada beberapa produsen menjadi pemasok lapis kedua. Hal ini menunjukkan lemahnya kedalam struktur industri mobil nasional. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama di Jepang ada 350 pemasok lapis pertama, 2.000 pemasuk lapis kedua, dan 10.000 pemasok lapis ketiga. Artinya industri nasional sangat terintegrasi secara vertikal.

Sementara itu, peranan industri kecil dan menengah (termasuk RT) masih minim. Industri berskala menengah (20-99 orang tenaga kerja), berskala kecil (5-19 orang tenaga kerja), dan industri rumah tangga (1 – 4 orang tenaga kerja) mempekerjakan dua pertiga tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Namun demikian, segmen industri ini menyumbang hanya 5-6 persen dari total nilai tambah manufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi di sub-sektor makanan dan kayu. Industri-industri pada segmen ini umumnya melayani konsumer akhir atau memproduksi komponen untuk ”after sales market”, dengan segmen kelas terendah. Sangat sedikit diantara mereka yang memproduksi bahan baku dan/atau barang intermediate serta memasoknya ke industri hilir. Dengan kondisi ini, industri kecil dan menengah di Indonesia belum berada dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar.

B. Sasaran

1.      Peningkatan pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik, baik untuk bahan baku maupun produk akhir, sebagai cerminan daya saingnya sektor ini dalam menghadapi serbuan produk-produk impor.

2.      Meningkatnya volume ekspor sektor industri manufaktur dalam total ekspor nasional, terutama pada produk ekspor yang memiliki kandungan teknologi menengah dan tinggi.

3.      Meningkatnya proses alih teknologi dari foreign direct investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara dari produk lokal serta meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke luar pulau Jawa, terutama industri pengolahan hasil sumberdaya alam.

4.      Meningkatnya iklim persaingan secara sehat yang dicerminkan dari turunnya index CR2 terutama pada sub-sektor yang beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli.”

5.      Meningkatnya kesadaran pelaku industri akan pentingnya standar produk barang sebagai faktor penguat daya saing produk nasional.

6.      Sektor industri manufaktur (non-migas) ditargetkan tumbuh dengan laju rata-rata 8,56 persen per tahun. Dengan tingkat operasi hanya sekitar 60 persen pada tahun 2003, target peningkatan kapasitas (terutama sub-sektor yang masih berdaya saing) perlu didorong ke tingkat optimum (minimal 85 persen) dalam dua tahun pertama.

7.      Target penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun mendatang adalah sekitar 500 ribu per tahun (termasuk industri pengolahan minyak dan gas bumi). Memperhatikan kinerja penyerapannya yang cenderung kontraktif beberapa tahun belakangan ini, target tersebut dapat diartikan bahwa penyerapan tenaga kerja baru lebih banyak mengandalkan pada basis industri baru yang perlu dipacu pertumbuhannya. Sejalan dengan upaya revitalisasi pertanian dan pedesaan, langkah pengembangan untuk mewujudkan industrialisasi perdesaaan menjadi sangat penting. Bagi industri skala menengah dan besar yang telah berdiri, kalaupun mulai tahun 2007 terdapat investasi baru, penyerapan tambahan lapangan kerjanya relatif kecil, hanya sekitar 40-50 ribu pekerja. Dari perhitungan ICOR-nya selama ini, pertumbuhan tersebut membutuhkan dukungan tambahan investasi yang diperkirakan mencapai 40 sampai 50 triliun rupiah per tahun.

C. Arah Kebijakan

Pada tingkat makro, peningkatan kinerja daya saing industri manufaktur secara berkelanjutan membutuhkan landasan ekonomi yang kuat melalui terutama upaya menjaga stabilitas ekonomi makro serta perwujudan iklim usaha dan investasi yang sehat. Kondisi tersebut akan memfasilitasi terciptanya inovasi dan peningkatan produktivitas serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih luas dan dapat dijangkau sampai pada segmen sektor industri manufaktur yang kecil sekalipun.

Dalam tataran mikro, meminjam identifikasi UNIDO, 4 (empat) faktor utama yang perlu diperhatikan di dalam meningkatkan kinerja daya saing sektor industri manufaktur adalah: (a) kemampuan (ketrampilan) SDM, (b) penguasaan dan penerapan teknologi, (c) aliran masuk FDI sebagai potensi sumber alih teknologi dan perluasan pasar ekspor, dan (d) kapasitas infrastruktur (termasuk infrastruktur bagi pengembangan teknologi). Keempat faktor di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kebijakan dan program yang dirumuskan dalam Bab-Bab yang terkait.

Dalam lima tahun mendatang, arah pengembangan sektor industri manufaktur adalah mendorong terwujudnya peningkatan utilitasi kapasitas; memperluas basis usaha dengan penyederhanaan prosedur perijinan dan penyelenggaraan usaha untuk peningkatan peran industri kecil dan menengah; meningkatkan iklim persaingan yang sehat dan berkeadilan; memperluas penerapan standarisasi produk industri; dan mendorong perkuatan struktur industri pada sub-sektor yang memiliki potensi keuntungan kompetitif ke depan.

Apabila mekanisme pasar tidak dapat berlangsung efisien, langkah-langkah intervensi strategis diselenggarakan secara fungsional dalam kepentingan menjaga kesinambungan pembangunan sekaligus perkuatan struktur industri. Hal tersebut terutama terkait dengan pengembangan teknologi dan keterampilan tenaga kerja industri, layanan informasi pasar baik di dalam maupun luar negeri, serta sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk.

Dengan semakin ketatnya persaingan global dan semakin pesat dan spesifiknya perkembangan teknologi, kualitas kebijakan industri dituntut lebih baik dan lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan rumusan strategis dan kebijakan pengembangan industri manufaktur pada tingkat sub-sektor. Sesuai dengan permasalahan yang mendesak dihadapi serta terbatasnya kemampuan sumberdaya, prioritas pengembangan sub-sektor industri dalam lima tahun kedepan ditetapkan pada sub-sektor industri manufaktur yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja; (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri; (3) memiliki potensi pengembangan ekspor; dan (4) mengolah sumberalam dalam negeri. Langkah-langkah intervensi pada tingkat sub-sektor tetap bersifat fungsional sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya. Pola pengembangan jaringan produksinya didekati dengan menggunakan unit analisis klaster industri. Adapun untuk masing-masing sub-sektor industrinya, penanganan isunya diprioritaskan pada upaya: (1) merevitalisasi kinerja sub-sektor industrinya, khususnya peningkatan utilitas kapasitas terpasang hingga 80 persen; (2) memperkuat struktur industri, termasuk di dalamnya pemberdayaan sumberdaya industri; (3) memperluas basis produksi, baik dengan mendorong terciptanya investasi baru maupun mendorong pengembangan industri skala kecil-menengah; serta (4) mempertahankan dan bila mungkin bahkan meningkatkan daya saingnya di pasar global.

D. Program-Program Pembangunan

peningkatan ketrampilan sdm industri

Dalam rangka pengembangan SDM industri, berbagai langkah bidang ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program di dalam Bab 21 tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan. Program yang terkait terutama adalah Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan keterampilan, keahlian, dan kompetensi tenaga kerja industri sehingga mampu meningkatkan produktivitas industri nasional dan mampu bersaing di pasar kerja global.

Kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain adalah: (1) pengembangan standar kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja; (2) penyelenggaraan program-program pelatihan kerja berbasis kompetensi; (3) perkuatan kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP); (4) peningkatan profesionalisme tenaga kepelatihan dan instruktur pelatihan kerja; dan (5) peningkatan sarana dan prasarana lembaga latihan kerja.

Dari sisi pendidikan, upaya pengembangan SDM akan bermanfaat di dalam peningkatan ketrampilan dalam jangka menengah dan panjang. Dalam kaitan ini, sesuai dengan dalam rumusan Bab 26 tentang Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas, upaya di bidang pendidikan yang terkait dengan peningkatan SDM industri adalah dalam Program Pendidikan Menengah yang di dalam salah satu kegiatan pokoknya adalah pengembangan pendidikan kejuruan mengacu pada standard kompetensi kerja nasional, internasional dan industri serta penataan bidan gkeahlian pada pendidikan menengah kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja serta mendukung upaya meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha dan industri.

Peningkatan standardisasi produk industri

1.       Program Pengembangan Standardisasi Nasional

Tujuan program ini adalah meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus barang dan jasa, dan menjadi sarana untuk melindungi industri dan konsumen dalam negeri, serta mengembangkan kerjasama antar negara dalam kerangka saling pengakuan (mutual recoqnition) baik bilateral maupun multilateral. Sasaran programnya adalah meningkatnya penyusunan dan penerapan SNI, meningkatnya kapasitas kelembagaan infrastruktur standardisasi, dan meningkatnya kerjasama standardisasi baik bilateral maupun multilateral, terutama ke negara tujuan ekspor utama.

Kegiatan pokok diarahkan untuk mendorong sekaligus memfasilitasi terjadinya perluasan (ekstensifikasi) dan perkuatan (intensifikasi) berbagai aktivitas ekonomi sektor produksi dan distribusi adalah untuk meningkatkan kualitas, mendorong produktivitas dan efisiensi di dalam sistem produksi, yang antara lain mencakup: (1) pengembangan infrastruktur kelembagaan standardisasi melalui penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang pengukuran, standardisasi, pengujian dan mutu; (2) optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana litbang, pengakuan atas kualitas produk (SNI/ISO) dan pemberian insentif fiskal yang cermat dalam kegiatan produksi yang mendorong tumbuhnya iklim inovasi (padat teknologi), (3) mengembangkan pola insentif dalam bentuk kemitraan lembaga litbang dan industri, sosialisasi standar mutu terhadap IKM, asuransi teknologi korporasi usaha berbasis produk litbang; (4) mengembangkan kerjasama standardisasi di tingkat regional dan internasional (ACCSQ, APEC, WTO); (5) pengembangan sistem informasi standardisasi; (6) berperan aktif dalam berbagai forum dan organisasi bidang standardisasi internasional antara lain: ISO, IEC, CAC, PAC, APLAC, ILAC, IAF, BIPM, dan sebagainya; dan (7) menyediakan kebutuhan sarana dan prasarana operasional kelembagaan yang menangani kegiatan pengembangan standardisasi nasional.





Perkuatan Daya Saing Industri Manufaktur

1.       Program Pengembangan Industri Kecil Dan Menengah

Tujuan program ini adalah menjadikan industri kecil dan menengah (IKM) sebagai basis industri nasional. Agar dapat menjadi basis industri nasional, IKM dituntut mampu menghasilkan barang yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dan mampu menepati jadwal penyerahan secara disiplin baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir maupun untuk memenuhi pasokan bagi industri yang lebih hilir. Secara alami IKM memiliki kelemahan dalam menghadapi ketidakpastian pasar, mencapai skala ekonomi, dan memenuhi sumberdaya yang diperlukan. Sehingga untuk mencapai tujuan program ini, pemerintah akan membantu IKM dalam mengatasi permasalahan yang muncul akibat dari kelemahan alami tersebut. Ukuran keberhasilan program ini adalah jumlah perusahaan IKM yang mendapat kontrak pasokan dari industri hilir, memperoleh sertifikat kualitas, memperoleh kredit dari perbankan dengan prestasi pengembalian yang baik, serta yang berhasil tumbuh ke skala lebih besar.

2.      Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri


Upaya-upaya dalam program ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program dalam Bab 20 tentang Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam salah satu programnya yaitu Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kemampuan industridalam mencipta, mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan dan teknologi baik dalam rancangan produk baru, proses produksi, maupun dalam sistem distribusi dan logistik perusahaan.

Secara umum pengelola industri nasional belum memandang kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi layak dilakukan karena dianggap memiliki eksternalitas yang tinggi berjangka panjang, dan dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan dari miskinnya industri nasional dalam hal pemilikan sumberdaya teknologi. Sehingga dalam rangka mendorong kalangan industri meningkatkan kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi, kegiatan pokok pemerintah antara lain: (1) meningkatkan dukungan kegiatan penemuan dan pengembangan teknologi di industri baik dalam bentuk insentif pajak, asuransi teknologi baik bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi; (2) pengembangan klaster industri berbasis teknologi; (3) kemitraan antara litbang industri dan lembaga litbang pemerintah; dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya teknologi nasional yang tersebar di berbagai litbang pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga swasta, dan tenaga ahli perorangan.

Ukuran keberhasilan program ini adalah meningkatnya daya saing industri nasional dengan tumbuhnya basis baru industri dalam bentuk tumbuhnya produk-produk baru rancangan dalam negeri, lahirnya industri baru yang meningkatkan nilai tambah sumber-daya alam, serta lahirnya wiraswastawan berbasis pengetahuan dan teknologi.

Perlu cermati bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur, FDI memiliki peran penting karena kehadirannya jelas merupakan sumber potensi dalam penerapan dan alih teknologi serta peningkatan akses pasar ekspor. Oleh karena itu, keberhasilan menarik FDI dari hasil berbagai kegiatan dalam Program Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi serta Program Peningkatan Promosi dan Kerjasama Investasi sebagaimana diuraikan dalam Bab 15 tentang Peningkatan Investasi dan Ekspor perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendukung upaya peningkatan teknologi industri.

3.      Penataan Struktur Industri


Tujuan program ini adalah untuk memperbaiki struktur industri nasional baik dalam hal konsentrasi penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku dan bahan pendukung, komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri hilir. Pada tahap awal pembangunan industri nasional, sumberdaya industri dan wiraswastawan industri masih sangat langka sehingga kebijakan nasional sangat permisif terhadap praktek-praktek monopoli. Itu sebabnya hingga saat ini angka konsentrasi industri nasional termasuk sangat tinggi. Kondisi lain yang dihadapi industri nasional adalah tingginya ketidakpastian hubungan antara unit usaha. Kondisi ini mendorong industri tumbuh dengan pola yang sangat terintegrasi secara vertikal.

Untuk mewujudkan tujuan program ini dalam memperbaiki konsentrasi industri, pemerintah akan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip tata pengelolaan korporasi yang baik dan benar (good corporate governance, GCG) secara sistematis dan konsisten, dan menurunkan besarnya hambatan masuk unit usaha baru ke pasar yang monopolistis,

Sedangkan untuk mewujudkan tujuan program ini dalam pembangunan jaringan pemasok industri hilir pemerintah akan meningkatkan kepastian hubungan antar unit usaha dengan antara lain membangun jaringan pengukuran, standardisasi, pengujian, dan kualitas (MSTQ, measurement, standardisasi, testing, and quality), jaringan informasi baik kebutuhan industri hilir maupun kemampuan industri pemasok yang handal dan akurat, jaringan promosi kemampuan industri pemasok, dan jaringan pendampingan pengelolaan bagi industri pemasok.

Ukuran keberhasilan program ini adalah (1) terbentuknya struktur penguasaan pasar yang makin sehat dan kompetitif; dan (2) terbangunnya klaster-klaster industri yang sehat dan kuat dengan jaringan industri pendukung setimpal dan sarana umum yang memadai.

Perlu pula ditingkatkan iklim persaingan secara sehat untuk mendorong perusahaan berkompetisi sehubungan dengan semakin ketatnya persaingan global. Dalam konteks ini, upayanya selaras dengan tujuan di dalam Program Persaingan Usaha seperti diuraikan dalam Bab 15 tentang Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas.

Peningkatan Kapasitas Infrastruktur

Dalam rangka mengantisipasi peningkatan utilitasi kapasitas, pertumbuhan investasi baru, penyebaran kegiatan industri ke luar Pulau Jawa, dan peningkatan basis produksi sektor ini di daerah-daerah perdesaan, percepatan pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting. Berbagai langkah-langkah yang ditempuh dalam bidang ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program sebagaimana diuraikan dalam Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur.



Optimalisasi Administrasi Dan Insentif Perpajakan

Upaya untuk menggairahkan peningkatan basis produksi, produktivitas, dan investasi sektor industri manufaktur sangat tergantung dari komitmen pemerintah di dalam memfasilitasi berlangsungnya efisiensi usaha. Dalam hubungan ini, peranan penyelenggaraan fasilitasi dan pelayanan publik dalam hal perpajakan yang efisien sangat penting. Meskipun demikian, upaya tersebut tetap perlu diselenggarakan dalam disiplin untuk tetap menjaga stabilitas makro ekonomi yang telah dicapai selama ini. Oleh karena itu, berbagai langkah dan program dalam bidang ini selaras dengan uraian dalam Bab 22 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro. Program-program pembangunan yang memiliki keterkaitan erat adalah Program Peningkatan Penerimaan dan Pengamanan Keuangan Negara yang di dalam kegiatannya antara lain adalah menyelenggarakan reformasi perpajakan dan reformasi kepabeanan, serta Program Pengembangan Kelembagaan Keuangan yang di dalamnya mempunyai langkah-langkah untuk memberikan dukungan terhadap peningkatan penyaluran kredit bagi UMKM dan sektor pertanian.

Peningkatan Nilai Tambah Industri Berbasis Sumberdaya Alam

Berkenaan dengan peningkatan basis produksi, berbagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah sub-sektor industri yang berbasis sumberdaya alam sangat diperlukan. Langkah ini selaras dengan berbagai program di dalam Bab 17 tentang Revitalisasi Pertanian yang di dalamnya juga mencakup pengembangan untuk berbagai kegiatan produksi perikanan dan kehutanan. Sementara itu, dalam menumbuhkan basis produksi, kegiatan non-pertanian yang modern (industrialisasi) di kawasan-kawasan perdesaan, langkah-langkahnya diselaraskan dengan arahan di dalam Bab 25 tentang Pembangunan Perdesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar